Pamekasan - Budayawan Pamekasan, Mukrim, mengatakan, pola pendidikan
"landhep semu" di kalangan masyarakat Madura, kini sudah nyaris punah
dan jarang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Sudah
sangat jarang, bahkan bisa dikatakan sudah tidak ada para orang tua saat
ini mendidik anak-anaknya dengan menggunakan pola ini," kata Mukrim
kepada ANTARA, di Pamekasan, Minggu.
Pola pendidikan
"landhep semu" merupakan pola pendidikan yang diterapkan para orang tua
di Madura pada jaman dahulu dengan cara menyampaikan menggunakan bahasa
semu atau serupa kiasan.
Dalam teori ilmu pendidikan modern
yang mengedepankan pemahaman yang lebih cepat, pola pendidikan seperti
itu memang sulit untuk berkembang.
"Landhep" merupakan bahasa
Madura berarti bersikap rendah, tidak congkak dan atau santun, sedang
"semu" berarti samar, tidak jelas dan bisa pula bermakna kiasan.
Artinya, pendidikan "landhep semu" ini merupakan pola pendidikan
atau wejangan yang disampaikan guru kepada murid atau orang tua kepada
anak secara semu, tidak langsung atau berbentuk kiasan.
Di
kalangan orang tua, pola pendidikan "landhep semu" ini biasanya
disampaikan kepada anak saat mengingatkan anak-anaknya untuk tidak
melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau bisa mencemarkan nama baik
keluarganya.
"Orang tua dulu itu biasa mengingatkan, nak,
kalau pulau sekolah jangan melempar buah mangga orang lain, nanti akan
mengenai kepala saya," kata Mukrim mencontohkan.
Si anak,
kata dia, akan menyangkal. Sebab dalam nalar pendek dia, tidak mungkin
batu yang dilepar ke buah mangga milik orang lain dengan jarak yang
sangat jauh dari rumah orang tuanya itu akan mengenai badan, apalagi
kepalanya orang tuanya.
Namun, ketika perbuatan itu
dilakukan, dan pemiliknya mengetahui mangganya dilempar si anak itu,
kata-kata kasar akibat marah dengan ulah perbuatan si anak akhirnya tak
terhindari.
"Jangankan si pemilik mangga itu mengucapkan
kata-kata kasar tentang orang tuanya, mempertanyakan kepada si anak dia
itu anaknya siapa, itu sama dengan melempar batu dan mengenai orang
tuanya dari sisi perasaan," kata Mukrim.
Pola pendidikan
seperti ini, kata dia, tidak hanya membuat si anak tahu, akan tetapi
akan memahami secara filosofis petuah yang disampaikan orang tuanya.
Mukrim meyakini, pola pendidikan "landhep semu" inilah yang
sebenarnya telah menanamkan karakter kuat bagi masyarakat Madura zaman
dulu, untuk berpegang pada upaya untuk memahami, menganalisa dan
merasakan, bukan hanya mengetahui.
Kekayaan hazanah budaya
yang berpijak pada tradisi dan kearifan lokal yang dikemas dalam bentuk
pendidikan karakter telah memberi ruang untuk berfikir.
Mukri yang juga mantan guru SD di Kecamatan Galis ini meyakini, pola
pendidikan seperti itu, sebenarnya merupakan bentuk keunggulan nilai
yang semestinya tetap tertanam.
"Karakter ke-Madura-an orang Madura kan sebenarnya pada pola pendidikan ini juga," katanya menambahkan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar